ROFINUS REHE GURU AGAMA KATOLIK SMAN I NUBATUKAN
FK- Sebuah Artikel Sastra untuk Pembelajaran Bahasa dan Nilai Hidup. Di ujung timur Indonesia, tepatnya di sebuah pulau bernama Lembata, terdapat warisan nilai yang hidup dalam bahasa, budaya, dan tindakan masyarakatnya. Namun hari ini, kita akan menengok sebuah kisah yang tersembunyi dalam dua kata sederhana: lem dan bata. Bukan sekadar bahan bangunan, tetapi simbol kehidupan. Inilah yang menjadi dasar dari artikel sastra reflektif ini—sebuah kisah, sebuah makna, dan sebuah pelajaran tentang menjadi manusia.
1. Dua Kata, Sejuta Makna; Lem—perekat. Bata—bangunan.
Tapi di Lembata, lem adalah cinta dan bata adalah manusia. Lem tak pernah terlihat, tapi tanpanya bangunan runtuh. Bata tak pernah bersuara, tapi tanpanya tak ada rumah yang berdiri. “Lembata” bukan sekadar nama. Ia adalah gabungan makna: LEM dan BATA. Sebuah pulau yang dibangun oleh cinta dan manusia yang sederhana.
2. Ketika Bahasa Menjadi Simbol
Bahasa tak hanya untuk bicara, tetapi untuk menghidupkan warisan.
Dalam sastra, dua kata ini menjadi puisi kehidupan: tentang kesederhanaan, tentang kerja sama, tentang nilai. LEM adalah kasih—yang menyatukan guru dan siswa. BATA adalah anak-anak—yang membangun masa depan bangsa. “Setiap kali seorang anak diajari dengan kasih, satu bata diletakkan dalam bangunan peradaban.”
3. Metafora Sastra dalam Pendidikan
Bayangkan sekolah sebagai bangunan: Kepala sekolah adalah arsitek. Guru adalah lem pengikat. Siswa adalah bata-bata harapan. Jika ada satu bata yang diabaikan, bangunan menjadi rapuh. Jika lemnya mengering karena kurang perhatian dan kasih, bangunan bisa runtuh.
Maka sastra lem dan bata adalah refleksi pendidikan: mengajarkan kita untuk melihat manusia sebagai bagian penting dari bangunan besar bernama kehidupan bersama.
4. Refleksi dari Tanah Lembata
Di tanah Lembata, orang tak hanya bekerja keras.
Mereka membangun hidup dengan nilai: Gotong royong = lem sosial, Adat dan iman = bata tradisi, Bahasa ibu = dinding rumah jiwa, Orang Lembata tidak hanya membangun rumah dari batu,
tapi juga membangun jiwa dari kata-kata: dalam syair, dalam doa, dalam peribahasa, dan dalam kisah nenek moyang. Sastra untuk Hidup Sastra bukan hanya bacaan di kelas. Sastra adalah cara untuk memaknai hidup dan mengajar jiwa. Melalui lem dan bata, kita diajak untuk: Belajar melihat yang kecil sebagai dasar dari sesuatu yang besar, Menghargai relasi sebagai kekuatan untuk bertumbuh, Menjadi manusia yang rendah hati tapi kokoh.
LEM DAN BATA bukan hanya alat tukang. Ia adalah bahasa budaya, sastra hidup, dan filosofi pendidikan. Setiap siswa yang belajar dengan cinta, setiap guru yang mengajar dengan hati,
setiap orang tua yang membimbing dengan sabar mereka adalah lem dan bata kehidupan. Dan Lembata, dalam kesederhanaannya, telah mengajarkan dunia satu pelajaran penting: Bahwa membangun cinta dan nilai adalah tugas semua manusia. Tugas Kreatif (untuk siswa):Tulis puisi dengan judul: Aku adalah Bata, Kau adalah Lem. Buat dialog imajinatif antara “Lem” dan “Bata” di dalam kelas. Cari peribahasa atau ungkapan lokal dari daerahmu yang memiliki makna seperti lem atau bata. Tuliskan refleksi: “Siapakah aku dalam bangunan kehidupan ini—lem, bata, atau keduanya?”
Humus LEM dan BATA Seni Menterjemahkan Kawinan Kata { Ars Interpretandi Coniunctionem Verborum}.
Seni Menterjemahkan Kata Satra LEM dan BATA dirumuskan secara filosofis dan puitis sebagai berikut:”Ars Interpretandi Coniunctionem Verborum”. Mari kita uraikan per kata: Ars = Seni Interpretandi = Menterjemahkan (bentuk gerund dari interpretare, berarti “menafsirkan/menterjemahkan”) Coniunctionem = Kawinan / Persatuan (coniunctio = penyatuan, kawin, koneksi, dalam bentuk akusatif) Verborum = Kata-kata (genitive plural dari verbum, berarti kata) Makna Filosofis: “Ars Interpretandi Coniunctionem Verborum” bukan sekadar seni bahasa biasa, melainkan seni membaca makna terdalam dari pertemuan kata-kata, seperti dalam puisi, syair adat, atau doa suci. Dalam tradisi Latin klasik, gabungan kata sering memiliki kekuatan simbolik dan spiritual—seperti dalam doa atau hukum.
Sastra Kawinan LEM dan BATA
Dalam kehidupan masyarakat Lembata, kata-kata tidak sekadar bunyi, tetapi adalah warisan, kekuatan, dan jantung peradaban. Kata “lem” dan “bata” yang secara sederhana dapat diartikan sebagai perekat dan bahan bangunan, dalam kehidupan filosofis dan budaya Lembata menjadi simbol yang dalam: lem adalah cinta yang menyatukan, dan bata adalah manusia yang menjadi fondasi kehidupan bersama. Artikel adalah sebuah upaya menggali, merayakan, dan menyemai kembali kekayaan sastra, budaya, dan filosofi lokal yang menjadi identitas luhur masyarakat Lembata.Kami hadirkan filosofis ini dalam lima penggalan LEM dan BATA utama yang menggambarkan kekayaan nilai dan kebijaksanaan lokal sebagai jendela pendidikan karakter, budaya, dan iman.
LEM dan BATA Dalam dunia yang dipenuhi suara, huruf, dan makna, manusia tidak hanya berbicara—ia mengikatkan dirinya dengan kata-kata. Ia bersahabat, bersaksi, bahkan berdoa melalui “perkawinan kata-kata” yang membentuk kalimat, bait, dan wacana. Namun, di balik struktur kalimat yang tampak sederhana, tersembunyi kedalaman yang hanya dapat disentuh melalui ars interpretandi coniunctionem verborum—seni menafsirkan kawinan kata.
- Arti LEM dan BATA Kata Bukan Sekadar Bunyi
Kata bukan hanya lambang bunyi. Dalam kebudayaan lisan dan tulisan, kata adalah roh dari pengalaman. Di tangan penyair, dua kata bisa menjelma menjadi lukisan. Di mulut tetua adat, kawinan dua kata menjadi hukum dan petuah. Dan di altar rohani, kata-kata menjadi doa, menjadi jembatan menuju Yang Ilahi. Ketika kata dikawinkan, mereka tidak hanya berbagi makna, tetapi juga menciptakan makna baru yang tak bisa ditemukan bila mereka berdiri sendiri. Di sinilah seni itu hidup: dalam menghayati bagaimana “lem” dan “bata” membentuk Lembata, atau bagaimana “tanah” dan “air” menjadi kehidupan.
- LEM dan BATA Seni Membaca Makna yang Tak Terucap
Menterjemahkan kawinan kata bukan hanya memindahkan makna secara teknis dari satu bahasa ke bahasa lain. Ini adalah tindakan spiritual dan kultural. Seorang penerjemah, seorang guru, seorang filsuf bahkan seorang ibu yang menasihati anaknya dengan dua kata penuh kasih—semua adalah pelaku seni ini.
Mereka membaca keheningan di antara kata, menghayati emosi yang tak tertulis, dan menyalakan cahaya di balik kalimat yang mungkin biasa bagi orang awam, tapi suci bagi orang bijak.
Sesungguhya pada mulanya ada Contoh Kawinan Kata dalam Budaya Lokal
- “Lem dan Bata” – Menyatu menjadi nama tanah leluhur: Lembata.
- “Tanah dan Air” – Menjadi simbol kehidupan dan warisan.
- “Kasih dan Iman” – Menjadi fondasi rumah tangga dan komunitas.
- “Guru dan Siswa” – Menjadi relasi pembentukan masa depan.
- “Tuhan dan Leluhur” – Menjadi jembatan iman dan tradisi.
- LEM dan BATA Panggilan Budaya dan Pendidikan
Di tengah dunia yang sibuk dan terpecah, kita dipanggil untuk tidak hanya berbicara, tetapi menafsirkan dan memuliakan kawinan kata-kata yang diwariskan budaya kita. Ini adalah bentuk kesetiaan pada identitas dan akar. Anak-anak muda perlu diajar bukan hanya menyusun kalimat, tetapi menghargai jiwa di balik kata-kata itu.
Dalam konteks pendidikan dan budaya lokal, seni ini menjadi jalan membangun karakter, cinta tanah air, dan kepekaan spiritual. Kita butuh lebih banyak guru yang memahami bahwa mengajar bukan hanya transfer ilmu, tapi pemaknaan bahasa—dari hati ke hati.
LEM Dan BATA Kata Sebagai Perjanjian dan di halaman keritas ini sebagai media kawianan dimana
- “Manusia Kata” Latin: Homo Verbi, Homo = manusia, Verbi = kata (dari verbum, artinya kata)
- “Seni Kata Manusia” Latin: Ars Verbi Hominis, Ars = seni, Verbi = kata (bentuk genitif dari verbum), Hominis = manusia (bentuk genitif dari homo) Alternatif lebih puitis atau filosofis: Homo Loquens = “Manusia yang berbicara” (frasa ini umum digunakan dalam filsafat bahasa dan antropologi)
Ars Loquendi Hominis = “Seni berbicara manusia” (fokus pada seni dalam berbicara atau menyampaikan kata) Dalam budaya Latin dan juga dalam Kitab Suci, kata adalah perjanjian. “In principio erat Verbum”—Pada mulanya adalah Firman. Maka, seni menafsirkan kawinan kata bukanlah seni biasa. Ia adalah seni memahami hidup itu sendiri.
-1. Kata “Lem”
- Dalam Bahasa Belanda
Kata lem dalam Bahasa Indonesia berasal dari serapan kata Belanda “lijm”, yang berarti perekat atau zat yang melekatkan dua permukaan. Kata lijmen adalah bentuk kata kerja yang artinya mengelem atau merekatkan. Kata ini berasal dari akar Proto-Jermanik “libjam”, yang juga berkaitan dengan “liim” dalam Bahasa Jerman. Makna filosofis: Lem bukan sekadar zat, tetapi simbol penyatupadu, ikatan batin, kesetiaan, dan kesatuan dalam kebersamaan—baik dalam hubungan manusia maupun spiritualitas.
- Dalam Bahasa Sanskerta
Kata “lem” tidak langsung muncul sebagai kata sendiri dalam Sanskerta, tetapi ada akar kata yang maknanya mirip: “Bandha” (बंधन) artinya ikatan, keterikatan, simpul. “Sambandha” (सम्बन्ध) artinya hubungan, keterkaitan, ikatan sosial atau spiritual
Makna filosofis: Dalam konteks Sanskerta, lem bisa dimaknai sebagai kekuatan yang mengikat jiwa, keluarga, dan komunitas, khususnya melalui dharma (kebenaran) dan bhakti (kasih spiritual).
- Kata “Bata”
- Dalam Bahasa Belanda. Kata “bata” tidak berasal dari Bahasa Belanda. Dalam Belanda, batu bata disebut “baksteen”: Bak = cetakan atau wadah, Steen = batu. Makna filosofis:
Baksteen dibentuk dari cetakan—melambangkan bahwa manusia dibentuk dari nilai dan pengalaman. Ia keras dan kuat bila melalui proses “dibakar”—seperti manusia melalui penderitaan membentuk karakter.
- Dalam Bahasa Sanskerta. Ada beberapa kata yang mendekati makna “bata”: “Bhitti” (भित्ति) = dinding. “Aṣṭaka” (अष्टक) = batu bata atau benda berbentuk blok “Śilā” (शिला) = batu atau struktur padat. Secara simbolis, batu atau bata dianggap sebagai fondasi dunia fisik dan spiritual.
Makna filosofis:
Dalam pandangan Hindu dan Buddhis, bata/batu melambangkan keteguhan, dasar kehidupan, serta kesederhanaan yang kokoh. Kesimpulan Filosofis Jika kita rangkai makna dari akar bahasa Belanda dan Sanskerta: Lem = lijm/bandha: Ikatan kasih, kekuatan yang menyatukan. Bata = baksteen/bhitti/śilā: Individu atau nilai dasar yang menopang kehidupan Maka “LEMBATA” secara simbolik menjadi: > Sebuah tempat atau komunitas di mana cinta dan nilai-nilai dasar menjadi fondasi yang menyatukan semua orang.
- Bata: Simbol Individu dan Nilai Dasar
Secara filosofis, bata melambangkan:
- Individu: Setiap orang adalah sebuah bata, unik namun memiliki peran dalam membangun sesuatu yang lebih besar.
- Nilai-nilai dasar: Kejujuran, iman, kasih, dan harapan sebagai fondasi kehidupan.
- Kerendahan hati: Bata terlihat sederhana, namun tanpanya, tidak akan ada rumah atau bangunan kokoh. “Bata tidak pernah menonjolkan dirinya, tapi tanpanya, segalanya runtuh.”
- Lem: Simbol Relasi, Kasih, dan Komitmen
Sementara itu, lem secara filosofis bisa diartikan sebagai:
- Ikatan cinta dan hubungan antar manusia: Kasih adalah lem kehidupan.
- Komitmen dan kesatuan: Lem menjaga agar bata tidak tercerai-berai, seperti komitmen menjaga komunitas tetap utuh.
- Iman yang menyatukan: Dalam kehidupan beriman, lem adalah simbol kepercayaan kepada Allah yang menyatukan umat-Nya. “Lem tidak terlihat, tapi dialah yang menyatukan segalanya dalam keheningan.”
Makna Filosofis Keseluruhan
Jika bata adalah manusia, maka lem adalah cinta dan iman yang menyatukan manusia menjadi sebuah bangunan kehidupan—keluarga, Gereja, bangsa, dan dunia. Dalam konteks Gereja, bisa diartikan: Bata = umat Allah. Lem = Kristus dan kasih-Nya yang menyatukan tubuh mistik-Nya
LEM Dan BATA Dalam Bahasa Jerman, padanan dari 8W tersebut adalah:
- Was – Apa itu LEM dan BATA?
LEM dan BATA adalah dua kata sederhana dalam kehidupan sehari-hari, namun jika kita gali secara simbolis dan filosofis, keduanya menyimpan makna yang dalam—terutama dalam konteks pembentukan karakter, pendidikan, dan kebersamaan.
LEM adalah simbol dari kasih, ikatan, dan kekuatan yang menyatukan. Dalam kehidupan manusia, “lem” bukan sekadar perekat fisik, tetapi juga lambang dari cinta kasih, kepercayaan, komitmen, dan nilai kebersamaan yang menjaga sebuah komunitas tetap utuh.
BATA, di sisi lain, adalah simbol individu—setiap orang seperti bata yang memiliki peran dalam membangun sesuatu yang lebih besar: keluarga, sekolah, gereja, bangsa, atau dunia. Bata melambangkan nilai dasar seperti kejujuran, kerendahan hati, dan kekuatan karakter yang terbentuk dari proses hidup.
Jika digabung, LEM + BATA = LEMBATA. Bukan sekadar nama daerah, tetapi metafora kehidupan, yaitu: komunitas yang dibangun oleh bata-bata manusia dan disatukan oleh lem kasih.
Dalam refleksi simbolik, LEM dan BATA bukan sekadar benda mati, tetapi dapat diibaratkan sebagai tokoh hidup dalam cerita tentang kebersamaan dan pembangunan masyarakat.
Siapa LEM?
LEM adalah guru, orang tua, pemimpin, dan siapa pun yang menjadi perekat dalam kehidupan bersama. Mereka adalah orang-orang yang penuh kasih, yang menyatukan dan menjaga relasi di antara sesama. Dalam konteks sekolah, LEM bisa diibaratkan sebagai pendidik—yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai cinta, kedisiplinan, dan pengharapan.
LEM adalah jiwa yang menyatukan. Ia tak selalu terlihat, tapi keberadaannya sangat menentukan.
Siapa BATA?
BATA adalah kita semua—murid, anggota keluarga, warga masyarakat—yang menjadi bagian dari bangunan besar kehidupan. Setiap orang adalah bata yang unik, memiliki bentuk, warna, dan tekstur yang berbeda, namun semuanya penting untuk membentuk struktur yang kokoh. Dalam konteks pendidikan, siswa adalah bata yang sedang dibentuk melalui proses belajar dan pembentukan karakter.
BATA adalah pribadi yang bertumbuh. Ia sederhana, namun menjadi dasar dari segalanya.
3. Wann – Kapan LEM dan BATA?
Kapan LEM dan BATA hadir dalam kehidupan kita?
Jawabannya: setiap saat. LEM dan BATA bukan hanya hadir dalam waktu tertentu, melainkan mengalir dalam setiap momen kehidupan, terutama saat manusia membangun relasi, belajar, dan hidup dalam kebersamaan.
✅ LEM hadir…
- Saat seorang guru menuntun murid dengan kasih, bukan hanya dengan kata-kata.
- Saat orang tua menyatukan keluarganya dengan cinta dan pengertian.
- Saat sahabat saling memaafkan setelah kesalahpahaman.
- Saat masyarakat bergotong-royong membangun jalan desa atau rumah ibadah.
- Saat pelajar saling mendukung dalam belajar dan tidak saling menjatuhkan.
Lem hadir saat ada kasih, kerja sama, pengampunan, dan komitmen.
🧱 BATA hadir…
- Saat seorang siswa berusaha keras belajar demi masa depannya.
- Saat anak muda berani berkata jujur walau sulit.
- Saat tiap individu menjalankan perannya dengan setia, meski tidak terlihat atau dihargai.
- Saat warga menjaga tradisi dan budaya sebagai bentuk cinta pada warisan leluhur.
Bata hadir saat setiap orang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
Jadi, LEM dan BATA hadir kapan saja, di mana saja, selama ada cinta yang menyatukan dan individu yang siap menjadi fondasi kebaikan. “Setiap pagi saat kita memilih untuk mengasihi, memaafkan, dan berbuat baik—di situlah LEM dan BATA bekerja.”
4. Wo – Di Mana LEM dan BATA?
LEM dan BATA ada di mana? Jawabannya: di setiap ruang kehidupan—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Mereka bukan hanya ada di bangunan fisik, tapi juga hadir secara simbolis dalam rumah, sekolah, gereja, dan komunitas.
📍 LEM ada di…
- Hati seorang guru, saat ia mengajar bukan hanya dengan otak, tapi juga dengan hati.
- Pelukan orang tua, yang menyatukan anak-anak dengan kasih.
- Doa dalam keluarga, yang menyatukan perbedaan dengan iman.
- Proyek bersama di kelas, saat siswa belajar bekerja sama dan saling memahami.
- Senyum sahabat, yang mempererat persahabatan walau tak berkata-kata.
LEM ada di mana pun kasih dan komitmen menjadi kekuatan pemersatu.
📍 BATA ada di…
- Setiap siswa di ruang kelas, yang belajar dan bertumbuh.
- Setiap anggota keluarga, yang menjadi bagian dari rumah tangga yang utuh.
- Setiap warga masyarakat, yang menjalankan tugasnya dengan jujur dan setia.
- Lembaga pendidikan, yang menyusun “bata-bata” karakter bangsa dari generasi ke generasi.
- Tradisi dan adat, yang membentuk identitas bersama sebuah komunitas.
BATA ada di mana pun ada manusia yang membangun hidup dengan nilai dan ketekunan.
Jadi, LEM dan BATA hadir di mana saja ada cinta dan tanggung jawab. Mereka adalah elemen-elemen hidup yang membentuk sekolah yang bermartabat, keluarga yang harmonis, dan masyarakat yang adil dan bersatu.
“Rumah tidak dibangun hanya dengan batu, tetapi dengan cinta dan kebersamaan. Begitu pula sekolah—dibangun dengan LEM dan BATA.”
5. Warum – Mengapa LEM dan BATA?
Mengapa kita perlu LEM dan BATA dalam kehidupan?
Karena kehidupan, seperti sebuah bangunan, tidak akan kokoh tanpa fondasi yang kuat (BATA) dan tidak akan utuh tanpa perekat yang menyatukan (LEM).
🌱 Mengapa BATA?
BATA adalah simbol dari manusia sebagai bagian dari masyarakat.
- Kita semua adalah “bata-bata hidup” yang membangun keluarga, sekolah, gereja, dan bangsa.
- Tanpa kehadiran dan kontribusi setiap individu, tidak akan ada struktur sosial yang kuat.
- BATA mengajarkan kita kesetiaan, keteguhan, dan kerendahan hati. Ia tidak menonjol, tapi tanpanya, rumah runtuh.
“Setiap siswa adalah bata yang membangun masa depan bangsa.”
❤️ Mengapa LEM?
LEM adalah simbol dari kasih, komitmen, dan iman yang menyatukan kita semua.
- Tanpa LEM, bata-bata akan tercerai-berai—seperti manusia tanpa cinta dan kerja sama.
- LEM mengingatkan kita bahwa yang membuat sebuah komunitas kuat bukan hanya keberadaan orang, tetapi hubungan yang baik antarorang.
- LEM hadir dalam bentuk pengampunan, kerja sama, empati, dan kepercayaan.
“Tanpa lem kasih, sekolah hanya jadi gedung kosong tanpa jiwa.”
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.