FK– Oleh: Suara Warga Atadei, Kabupaten Lembata
Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur—Kami bukan menolak kemajuan. Kami tidak menutup diri terhadap energi bersih dan masa depan yang modern. Tapi kami menolak keras jika kemajuan itu justru menimbulkan luka baru di atas tanah yang sudah lama menderita. Kami menolak jika pembangunan itu mengabaikan kenyataan bahwa kami tinggal di atas tanah rawan bencana, dalam kaldera besar yang setiap saat bisa meletus.
Kami, masyarakat adat Atadei, Watuwawer, Lewokoba, Benolo, dan Waiwejak, sudah hidup berdampingan dengan risiko bencana sejak dulu. Letusan, banjir bandang, tanah longsor, dan gempa bumi adalah bagian dari hidup kami. Tapi kami bertahan karena kami mencintai tanah ini—karena tanah ini bukan hanya tempat tinggal, melainkan identitas, warisan leluhur, dan tempat berpijak anak cucu kami kelak.
Namun kini, semua itu terancam oleh satu kata: geothermal.
Bukan Pembangunan, tapi Ancaman
Rencana pembangunan proyek panas bumi (geothermal) di kawasan kami membawa gelombang kecemasan besar. Lebih dari 99 persen masyarakat lokal menolak proyek ini, bukan karena tidak mengerti energi, tetapi karena kami tahu risikonya.
Pengeboran di wilayah yang berada dalam kaldera aktif seperti Atadei sangat berisiko memicu gangguan geologis, seperti gempa lokal, retakan tanah, bahkan memperbesar potensi letusan. Kami khawatir pengeboran untuk mengeksploitasi panas bumi justru membuka jalan bencana yang jauh lebih besar dari yang pernah kami alami.
Kami bertanya:
Mengapa Atadei yang dipilih?
Mengapa wilayah bencana dijadikan objek eksploitasi?
Apakah kami ini tidak punya hak atas tanah kami sendiri?
Kami bersuara karena kami peduli. Kami menolak karena kami tahu, jika geothermal masuk, maka:
-
Tradisi memasak alami di Dapur Alam Karun Watuwawer (Ploe Kwar) akan hilang.
-
Struktur tanah akan berubah.
-
Air tanah bisa tercemar.
-
Anak cucu kami kehilangan hak hidup di atas tanah warisan.
Kami Sudah Mengalah Terlalu Banyak
Selama ini kami hidup sederhana. Kami tidak menuntut fasilitas mewah. Kami mengandalkan kebun, laut, dan tradisi untuk hidup. Kami masak dengan uap bumi yang keluar dari tanah—unik, alami, dan lestari. Bahkan API Award 2023 memberikan penghargaan atas keunikan budaya kami. Tapi sekarang, semua itu ingin diganti dengan mesin, pipa, dan suara bor raksasa.
Ini bukan soal listrik. Ini soal kehidupan.
Jika geothermal ini tetap dipaksakan, maka:
-
Kami terpaksa meninggalkan kampung halaman.
-
Kami akan kehilangan tanah adat kami.
-
Kami akan hidup dalam kecemasan yang lebih besar dari sebelumnya.
Ada Solusi yang Lebih Baik, Lebih Bersahabat
Kami bukan anti-energi. Kami tahu bahwa listrik dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi mengorbankan wilayah rawan bencana untuk memaksakan satu jenis energi bukanlah pilihan cerdas. Justru itu tindakan gegabah yang bisa berujung pada bencana kemanusiaan dan kerusakan ekosistem yang tak bisa diperbaiki.
Berikut ini solusi alternatif yang bisa dipilih oleh pemerintah dan investor demi pembangunan yang manusiawi, ekologis, dan berkeadilan:
1. Maksimalkan Energi Surya di Lembata
Pulau Lembata memiliki intensitas sinar matahari yang sangat tinggi sepanjang tahun, ideal untuk dikembangkan sebagai pusat energi surya (solar panel). Panel surya bisa dipasang di atap rumah, sekolah, gereja, dan lahan-lahan kosong yang tidak mengganggu ekosistem.
✅ Tidak merusak tanah
✅ Tidak membahayakan masyarakat
✅ Lebih cepat pemasangannya
✅ Bisa memberdayakan masyarakat lokal
2. Kembangkan Energi Angin dan Mikrohidro
Beberapa wilayah pesisir dan perbukitan di Lembata cocok untuk pengembangan kincir angin kecil (wind energy) serta mikrohidro dari sungai-sungai kecil yang masih alami. Ini dapat menghasilkan listrik skala lokal tanpa harus merusak wilayah rawan bencana.
✅ Ramah lingkungan
✅ Cocok untuk skala desa
✅ Tidak membutuhkan pengeboran atau ledakan bawah tanah
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.