Coretan …ROFINUS REHE -Awal Kamis 1 MEI 2025...
FK – Berikut ini kisah “Kertas Putih: Hati yang Siap Menerima Segala Coretan Kehidupan”
MENGAPA POLOS....?
Di dalam laci tua berlapis debu di sudut ruang guru, tersimpan sekumpulan benda yang sering dianggap tak bernyawa. Di antara penghapus yang aus dan penggaris retak, tergeletak dua lembar kertas yang sangat berbeda. Yang satu polos putih bersih, yang satu lagi bergaris rapi dari atas ke bawah.
Mereka belum pernah disentuh oleh pena mana pun. Belum pernah disentuh oleh tangan manusia yang ingin menulis tentang cinta, kebohongan, atau impian. Mereka hanya saling diam, bersebelahan dalam kesunyian.
Hingga suatu malam, saat angin mengetuk kaca jendela dan lampu neon di langit-langit meredup, terdengarlah suara lirih dari kertas putih polos.
“Engkau akan belajar banyak hal, saudaraku,” bisiknya pelan. “Tapi satu hal harus kau ingat: hati-hatilah dengan kata-kata, sikap, dan perilaku manusia yang akan menuliskan dirinya di atas tubuhmu.”
Kertas bergaris tampak bingung. Ia baru ‘lahir’ dari mesin pencetak beberapa minggu lalu. Bersih, tajam, dan penuh semangat. Ia mengernyit, atau seandainya kertas bisa mengernyit, itulah yang akan ia lakukan.
“Maksudmu apa, Kakak?” tanyanya.
“Pensil, bolpoin, pena—semua itu hanyalah alat,” jawab si kertas putih polos. “Tapi manusia… manusia menuliskan isi hatinya melalui mereka. Kita, kertas, hanya tempat singgah kata-kata. Tapi kita menyimpan lebih dari sekadar tinta.”
Kertas bergaris masih belum mengerti. “Bukankah kita memang diciptakan untuk ditulisi?”
“Benar,” jawab kertas polos. “Tapi tak semua yang ditulis adalah kebaikan. Ada kata-kata yang menyembuhkan, ada pula yang menyayat hati. Dan kita, meski diam, harus siap menjadi saksi dari semuanya.”
Keesokan paginya, laci itu dibuka. Seorang anak laki-laki dari kelas sebelah membuka laci itu dengan tangan gemetar. Namanya Farel. Usianya 12 tahun. Matanya bengkak, dan ada segurat luka di pipinya—bukan luka fisik, tapi luka batin yang tak terlihat.
Tangannya meraih kertas putih polos.
Farel menarik napas dalam, lalu mulai menulis. Setiap kata yang tertulis di sana mengalir seperti air mata. Ia menulis surat kepada temannya, Rafael. Dalam lembaran itu, ia menuliskan penyesalan.
“Maafkan aku, Raf. Aku tahu aku salah. Kata-kataku menyakitimu. Aku hanya iri, dan itu bukan alasan. Aku belajar bahwa ucapan bisa melukai lebih dalam daripada pukulan.”
Kertas putih polos menerima semuanya dalam diam. Ia tidak mengeluh meski tinta mulai membasahi tubuhnya. Ia tidak berontak meski air mata Farel menetes ke sudut lipatannya. Ia tahu—tugasnya bukan sekadar menyimpan, tetapi merangkul.
Beberapa hari kemudian, giliran kertas bergaris yang dipilih. Seorang gadis bernama Clara mengambilnya untuk menulis alasan tidak masuk sekolah. Tapi kata-kata yang ditulisnya bukanlah kebenaran.
“Saya sakit kepala, tidak bisa hadir karena demam tinggi,” tulisnya, padahal ia hanya malas dan ingin bermain ponsel di rumah.
Kertas bergaris merasa ada yang aneh. Kata-kata itu terasa berat, tidak jujur, dan dingin. Ia mengingat perkataan saudaranya. Sekarang ia mengerti. Apa yang ditulis manusia bukanlah sekadar huruf, tetapi isi hati yang kadang penuh topeng.
Malam itu, saat sekolah sepi dan bulan menggantung muram di jendela, kertas bergaris berkata pelan, “Sekarang aku mengerti, Kakak. Kita memang hanya tempat menulis, tapi apa yang dituliskan itu mencerminkan siapa mereka.”
Kertas putih polos tersenyum lembut.
“Kau akan melihat lebih banyak lagi, Saudaraku,” katanya. “Surat cinta, puisi harapan, curhat kesepian, bahkan makian. Kita akan menjadi saksi kehidupan manusia. Maka jangan angkuh saat diisi pujian, dan jangan putus asa saat diberi luka.”
Beberapa bulan berlalu. Kertas putih polos kini tersimpan dalam kotak kecil—surat permintaan maaf Farel dijadikan contoh oleh guru agama. Ia dijaga, dirawat, bahkan pernah dibacakan saat retret siswa. Anak-anak mendengarnya sambil menunduk dan menangis. Karena surat itu menyentuh nurani mereka.
Sedangkan kertas bergaris? Ia dibuang. Clara ketahuan berbohong, dan suratnya dicoret merah. Ia akhirnya menulis yang baru, kali ini dengan jujur.
“Saya meminta maaf telah berbohong. Saya belajar bahwa Tuhan tahu isi hati kita, bahkan saat orang lain tidak.”
Dan kali ini, suratnya disimpan di lemari guru, sebagai bukti pertobatan.
Pesan dari Lembaran Putih
Jika kita belajar dari dua lembar kertas itu, maka kita pun akan memahami bahwa hati manusia adalah seperti kertas putih. Saat lahir, kita bersih, polos, tanpa noda. Tapi kehidupan—dengan segala kata, sikap, dan pilihan kita—akan menuliskan cerita di sana.
Apakah yang tertulis adalah kasih?
Ataukah kebencian?
Apakah kita memilih menuliskan harapan kepada sesama?
Ataukah menggores luka yang dalam?
Kertas putih tidak memilih siapa yang menulis di atasnya. Tapi kita—manusia—memiliki pilihan: menuliskan kebaikan atau keburukan. Dan Tuhan, Sang Pemilik pena sejati, telah memberikan firman-Nya agar kita menuliskan cinta-Nya di setiap langkah.
Maka berhati-hatilah, anakku.
Jangan sembarangan menggoreskan kata.
Karena hati seseorang bisa jadi adalah kertas putih yang menyimpan luka dari tulisan kita.
POLOSNYA- Kertas putih polos dan kertas bergaris telah mengajarkan bahwa kehidupan ini adalah lembaran. Kita bukan hanya menulis untuk hari ini, tapi untuk dibaca di masa depan—oleh orang lain, oleh hati nurani, bahkan oleh Tuhan sendiri.
Tulislah kebaikan. Coretlah dengan kasih.
Karena setiap kata adalah benih yang tumbuh dalam jiwa manusia. Salam LITERASI 1 MEI 2025….
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.