FK – Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai penghargaan terhadap perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak dan martabat kaum perempuan. Kartini bukan hanya simbol emansipasi, tetapi juga menjadi sumber inspirasi spiritual bagi perempuan Katolik dalam menghayati peran ganda mereka sebagai bagian dari Gereja dan warga negara.
Puisi “Doa Kartini dalam Sunyi”
(Verse 1)
Di kamar hening Kartini berdoa,
Terselip harap dalam luka jiwa.
Pada Tuhan ia berserah setia,
Meski gelap menyelimuti asa.
(Chorus)
Tuhan, dengar tangis Kartini
Yang tak bersuara, namun suci.
Biar terang-Mu turun kembali,
Mengalir kasih bagi negeri ini.
(Verse 2)
Bukan mahkota yang ia minta,
Hanya ruang tuk berkarya dan cinta.
Pada salib Kristus ia percaya,
Di situ ia belajar merdeka.
(Bridge)
Jiwanya luka namun tak hancur,
Dikuatkan salib kasih yang jujur.
Langit mendengar bisikan batinnya,
Perempuan beriman dalam derita.
(Chorus Reprise)
Tuhan, jadikan kami Kartini
Yang setia walau tak dipuji.
Dengan iman, harap, dan kasih,
Kami melangkah membangun negeri.
(Outro)
Doa Kartini naik ke Surga,
Mengalun lembut di altar bangsa.
Tuhan, hidupkan semangat sucinya,
Dalam Gereja dan cinta sesama.
Kartini: Emansipasi dan Spiritualitas
Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Indonesia. Namun, tak banyak yang menyoroti sisi spiritualitas dalam perjuangannya. Surat-surat Kartini yang dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” menggambarkan pencarian jati diri, relasi dengan Tuhan, serta harapan akan kehidupan yang lebih bermartabat bagi perempuan.
Bagi perempuan Katolik, Kartini adalah teladan dalam memperjuangkan hak tanpa kehilangan nilai-nilai Kristiani. Ia mengajarkan bahwa iman dan ilmu bisa berjalan beriringan. Dalam konteks Gereja, perempuan juga dipanggil untuk menjadi pewarta kasih Allah lewat karya, pelayanan, dan kesaksian hidup.
Spirit Eman Sipasi dalam Tradisi Gereja Katolik
Dalam budaya timur, khususnya dalam konteks lokal seperti Nusa Tenggara Timur, istilah “eman sipasi” mencerminkan sikap solidaritas, kasih sayang, dan saling menolong dalam semangat persaudaraan. Kartini menunjukkan eman sipasi dalam makna luas: ia berjuang bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua perempuan yang terpinggirkan. Hal ini sejalan dengan panggilan Kristiani untuk melayani sesama dan menjadi garam serta terang dunia (bdk. Mat 5:13-16).
Perempuan Katolik, melalui semangat Kartini, terpanggil untuk menerjemahkan nilai eman sipasi dalam tindakan nyata: menjadi guru yang sabar, tenaga kesehatan yang penuh kasih, aktivis sosial yang memperjuangkan keadilan, dan ibu rumah tangga yang mendidik generasi penerus dengan nilai-nilai Kristiani.
Mengabdi Gereja dan Negara
Kartini menginspirasi perempuan Katolik untuk tidak pasif. Di tengah berbagai tantangan zaman, mereka dipanggil menjadi penggerak perubahan di lingkungan Gereja dan masyarakat. Dalam Gereja, perempuan terlibat aktif dalam karya pastoral, liturgi, dan pelayanan sosial. Dalam masyarakat, mereka tampil sebagai figur profesional yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai iman.
Pengabdian kepada negara tak harus berada di garda depan politik, tetapi bisa dimulai dari hal sederhana—menjadi warga yang peduli, aktif, dan berintegritas. Spirit eman sipasi mengajak perempuan Katolik untuk tidak tinggal diam ketika melihat ketidakadilan dan penderitaan, tetapi meresponnya dengan cinta kasih yang konkret.
Harapan Cinta Kasih
Hari Kartini bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi menjadi momen refleksi. Bagi perempuan Katolik, Kartini adalah ikon spiritual dan pahlawan eman sipasi yang menunjukkan bahwa pengabdian kepada Tuhan dan tanah air adalah panggilan mulia. Semoga spirit Kartini terus hidup dalam hati setiap perempuan yang ingin menjadi pelita bagi Gereja dan bangsa.(Rrr)
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.