Artikel: Rofinus Reh,S.Ag (Mahasiswa PPG-Guru Agama Katolik SMAN I Nubatukan-Kab.Lembata, Prov.NTT

FK -Merauke, 22 April 2025 — Sekolah Tinggi Katolik (STK) Santo Yakobus Merauke, melalui Program Studi Pendidikan Profesi Guru (PPG), kembali menunjukkan komitmennya dalam mencetak pendidik yang bukan hanya kompeten secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual dan manusiawi. Pada hari Selasa, 22 April 2025, STK Santo Yakobus menggelar Workshop Nasional bertajuk “Menumbuhkan Iman dan Akal Budi Melalui Asesmen: Diagnostik, Formatif, dan Sumatif dalam Kurikulum Merdeka”. Kegiatan ini berlangsung secara daring melalui Zoom dan diikuti antusias oleh mahasiswa PPG dari berbagai jenjang pendidikan: SD, SMP, SMA/SMK, hingga SLB.

Workshop ini menghadirkan dua narasumber utama yang berpengalaman dan inspiratif: Lambertus Anyiriga dan Yohanes Hendro P.. Mereka memaparkan materi secara aplikatif dan kontekstual, dengan pendekatan reflektif khas dunia pendidikan Katolik. Fokus utama pembahasan mencakup bagaimana asesmen dalam Kurikulum Merdeka dapat digunakan sebagai alat untuk mengenali kemampuan awal peserta didik (diagnostik), memantau proses belajar secara menyeluruh (formatif), dan mengevaluasi hasil belajar secara bermakna (sumatif).

Asesmen sebagai Jalan Menuju Pendidikan Bermakna

Para narasumber menekankan bahwa asesmen bukan sekadar pengukuran capaian akademik, melainkan harus menjadi sarana pertumbuhan pribadi siswa. Guru diajak untuk tidak berhenti pada angka dan nilai, melainkan menggali aspek-aspek mendalam seperti iman, karakter, dan semangat belajar siswa.

Model KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran) menjadi salah satu sorotan utama, karena menggambarkan capaian siswa dalam kategori deskriptif: mahir, cakap, layak, dan baru berkembang. Pendekatan ini membantu guru untuk memahami perkembangan siswa secara holistik—baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Ragam Instrumen dan Spiritualitas dalam Penilaian

Peserta workshop diajak memahami pentingnya instrumen asesmen yang beragam dan kontekstual: dari tes tertulis, observasi, wawancara, hingga portofolio. Penilaian tidak hanya menjadi alat ukur, tetapi menjadi cermin pembelajaran yang berperikemanusiaan.

Yang paling menyentuh, peserta diajak merenungkan dimensi spiritual dari proses evaluasi. Apakah asesmen kita sebagai guru mencerminkan kasih Kristus? Apakah penilaian itu membangun harapan dan pertumbuhan, atau sebaliknya—membuat siswa merasa tertolak?

Konsep Inklusivitas dan Kehadiran Guru sebagai Pendamping

Salah satu pokok pembahasan yang sangat relevan adalah inklusivitas dalam asesmen. Asesmen yang adil harus mampu menjangkau semua jenis peserta didik, termasuk siswa berkebutuhan khusus. Di sinilah guru ditantang untuk menyesuaikan cara menilai tanpa menurunkan standar, melainkan dengan pendekatan yang personal dan penuh kasih.

Refleksi Rohani dan Pesan Pengutusan

Menjelang akhir sesi, para peserta disapa dengan pesan penuh makna dari dosen pembimbing yang menegaskan kembali panggilan luhur sebagai guru:

“Dalam mengajar, ajaklah bukan hanya pikiran dan logika murid, tetapi juga hatinya yang kurani. Sentuhlah raga dan jasmani mereka lewat teladan nyata, dan rangkullah seluruh pribadi mereka sebagai insan yang sedang mencari jalan iman. Tugas kita bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga meneduhkan dan menenangkan hati dengan terang kasih Kristus.”

Pesan ini menggugah kesadaran bahwa menjadi guru Agama Katolik berarti menjadi gembala kecil yang menyapa dengan kasih, membimbing dengan kehadiran nyata, dan menilai dengan belas kasih.

Misi: Menjadi Guru yang Mendidik dengan Kasih

Workshop ini bukan hanya membekali para mahasiswa PPG dengan teknik penilaian dalam Kurikulum Merdeka, tetapi juga memperluas wawasan spiritual dan kemanusiaan dalam proses mengajar. STK Santo Yakobus Merauke menegaskan bahwa dalam dunia pendidikan Katolik, penilaian adalah bagian dari pelayanan, bukan sekadar prosedur akademik.

MISI ITU SATU KAWANAN DENGAN SATU GEMBALA ..(Salam SMAN I Nubatukan Lembata.)

Dengan semangat Merdeka Belajar dan terang Kristus, para peserta workshop membawa pulang pesan mendalam: bahwa dalam setiap penilaian, guru memiliki kesempatan untuk menyalurkan harapan, kasih, dan iman—mewujudkan pendidikan yang membebaskan, memanusiakan, dan menyelamatkan.(ROFINUS REHE)

 

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.