FKDi Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu, 22 Januari 2025, ratusan warga kehilangan tempat tinggal mereka dalam pembersihan lahan eks HGU oleh PT Kris Rama Maumere.

Dua alat berat meluluhlantakkan rumah-rumah sederhana yang selama ini menjadi tempat berteduh, memaksa warga berlarian keluar dengan membawa barang seadanya.

Tangisan histeris terdengar di mana-mana. Seorang bocah sekolah dasar, baru saja pulang sekolah, terpaksa menyaksikan rumahnya runtuh. Dengan tas kecil berisi buku pelajaran, ia bingung harus ke mana. “Bapa dan Mama sudah lari ke pantai karena tidak tega melihat rumah dibongkar,” ujar bocah itu dengan suara gemetar. Masa depannya kini menjadi tanda tanya besar, karena tanpa rumah, harapan untuk terus belajar tampak kian jauh.

Di sudut lain, seorang ibu berlutut di atas tanah yang dulunya menjadi fondasi rumahnya. Dengan air mata bercucuran, ia meraih puing-puing yang tersisa, berharap ada sesuatu yang masih bisa digunakan. Warga lainnya membongkar rumah mereka sendiri, berusaha menyelamatkan material yang masih layak pakai untuk membangun kembali dari nol.

“Kami tidak tahu apa salah kami. Kami hanya orang miskin yang tidak mengerti hukum. Tuhan, mengapa ini harus terjadi?” keluh seorang warga yang kehilangan segalanya.

Malam itu, dingin menusuk. Warga yang tak memiliki tempat tujuan harus mengandalkan belas kasih keluarga atau kerabat terdekat untuk menumpang tidur. Esok hari, mereka harus menghadapi kenyataan pahit tanpa kejelasan akan masa depan.

Puing-Puing Harapan di Tengah Kehancuran

Ketika rumah, tempat bernaung dan menyimpan sejuta kenangan, diratakan dengan tanah, harapan pun terasa ikut runtuh. Namun, di tengah kesedihan itu, ada pemandangan yang menguras air mata. Warga yang kehilangan rumahnya mulai mengais sisa-sisa reruntuhan. Mereka memilah puing-puing yang masih bisa digunakan, mencoba menyelamatkan apa saja yang tersisa dari kehancuran yang memaksa.

Besi tua, kayu yang masih kokoh, bahkan potongan genteng pun diambil dengan penuh harap. Mungkin tidak seberapa, tapi bagi mereka, ini adalah modal awal untuk membangun kembali, meski kecil dan sederhana. Di sisi lain, beberapa warga memilih untuk membongkar rumah mereka sendiri. Meski berat, mereka berusaha menyelamatkan material bangunan, mengingat tak ada lagi yang bisa diandalkan selain diri sendiri.

Pemandangan ini sungguh memilukan. Bagaimana mereka yang tak bersalah, yang hanya ingin hidup sederhana dan damai, harus kehilangan tempat tinggal tanpa pilihan. Harapan terlihat dari sisa-sisa bahan bangunan yang mereka kumpulkan, tetapi sampai kapan mereka harus bertahan seperti ini?

Penggusuran tanpa solusi yang jelas hanya akan menambah daftar panjang derita rakyat kecil. Kehidupan mereka bukan sekadar soal material rumah yang hancur, melainkan mimpi dan masa depan yang tergantung di dalamnya. Di tengah ini semua, satu pertanyaan besar menggantung: ke mana mereka harus melangkah, jika tanah pun tak lagi berpihak kepada mereka?

 

 

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.