ROFINUS REHE GURU AGAMA KATOLIK SMAN I NUBATUKAN

FK- Sebuah Artikel Sastra untuk Pembelajaran Bahasa dan Nilai Hidup. Di ujung timur Indonesia, tepatnya di sebuah pulau bernama Lembata, terdapat warisan nilai yang hidup dalam bahasa, budaya, dan tindakan masyarakatnya. Namun hari ini, kita akan menengok sebuah kisah yang tersembunyi dalam dua kata sederhana: lem dan bata. Bukan sekadar bahan bangunan, tetapi simbol kehidupan. Inilah yang menjadi dasar dari artikel sastra reflektif ini—sebuah kisah, sebuah makna, dan sebuah pelajaran tentang menjadi manusia.

1. Dua Kata, Sejuta Makna; Lem—perekat. Bata—bangunan.

Tapi di Lembata, lem adalah cinta dan bata adalah manusia. Lem tak pernah terlihat, tapi tanpanya bangunan runtuh. Bata tak pernah bersuara, tapi tanpanya tak ada rumah yang berdiri. “Lembata” bukan sekadar nama. Ia adalah gabungan makna: LEM dan BATA. Sebuah pulau yang dibangun oleh cinta dan manusia yang sederhana.

2. Ketika Bahasa Menjadi Simbol

Bahasa tak hanya untuk bicara, tetapi untuk menghidupkan warisan.
Dalam sastra, dua kata ini menjadi puisi kehidupan: tentang kesederhanaan, tentang kerja sama, tentang nilai. LEM adalah kasih—yang menyatukan guru dan siswa. BATA adalah anak-anak—yang membangun masa depan bangsa. “Setiap kali seorang anak diajari dengan kasih, satu bata diletakkan dalam bangunan peradaban.”

3. Metafora Sastra dalam Pendidikan

Bayangkan sekolah sebagai bangunan: Kepala sekolah adalah arsitek. Guru adalah lem pengikat. Siswa adalah bata-bata harapan. Jika ada satu bata yang diabaikan, bangunan menjadi rapuh. Jika lemnya mengering karena kurang perhatian dan kasih, bangunan bisa runtuh.

Maka sastra lem dan bata adalah refleksi pendidikan: mengajarkan kita untuk melihat manusia sebagai bagian penting dari bangunan besar bernama kehidupan bersama.

4. Refleksi dari Tanah Lembata

Di tanah Lembata, orang tak hanya bekerja keras.
Mereka membangun hidup dengan nilai: Gotong royong = lem sosial, Adat dan iman = bata tradisi, Bahasa ibu = dinding rumah jiwa, Orang Lembata tidak hanya membangun rumah dari batu,
tapi juga membangun jiwa dari kata-kata: dalam syair, dalam doa, dalam peribahasa, dan dalam kisah nenek moyang.  Sastra untuk Hidup Sastra bukan hanya bacaan di kelas. Sastra adalah cara untuk memaknai hidup dan mengajar jiwa. Melalui lem dan bata, kita diajak untuk: Belajar melihat yang kecil sebagai dasar dari sesuatu yang besar, Menghargai relasi sebagai kekuatan untuk bertumbuh, Menjadi manusia yang rendah hati tapi kokoh.

LEM DAN BATA bukan hanya alat tukang. Ia adalah bahasa budaya, sastra hidup, dan filosofi pendidikan. Setiap siswa yang belajar dengan cinta, setiap guru yang mengajar dengan hati,
setiap orang tua yang membimbing dengan sabar mereka adalah lem dan bata kehidupan. Dan Lembata, dalam kesederhanaannya, telah mengajarkan dunia satu pelajaran penting: Bahwa membangun cinta dan nilai adalah tugas semua manusia. Tugas Kreatif (untuk siswa):Tulis puisi dengan judul: Aku adalah Bata, Kau adalah Lem. Buat dialog imajinatif antara “Lem” dan “Bata” di dalam kelas. Cari peribahasa atau ungkapan lokal dari daerahmu yang memiliki makna seperti lem atau bata. Tuliskan refleksi: “Siapakah aku dalam bangunan kehidupan ini—lem, bata, atau keduanya?”

Humus LEM dan BATA Seni Menterjemahkan Kawinan Kata { Ars Interpretandi Coniunctionem Verborum}.

Seni Menterjemahkan Kata Satra  LEM dan BATA dirumuskan secara filosofis dan puitis sebagai berikut:”Ars Interpretandi Coniunctionem Verborum”. Mari kita uraikan per kata: Ars = Seni Interpretandi = Menterjemahkan (bentuk gerund dari interpretare, berarti “menafsirkan/menterjemahkan”) Coniunctionem = Kawinan / Persatuan (coniunctio = penyatuan, kawin, koneksi, dalam bentuk akusatif) Verborum = Kata-kata (genitive plural dari verbum, berarti kata) Makna Filosofis: “Ars Interpretandi Coniunctionem Verborum” bukan sekadar seni bahasa biasa, melainkan seni membaca makna terdalam dari pertemuan kata-kata, seperti dalam puisi, syair adat, atau doa suci. Dalam tradisi Latin klasik, gabungan kata sering memiliki kekuatan simbolik dan spiritual—seperti dalam doa atau hukum.

Sastra Kawinan LEM dan BATA

Dalam kehidupan masyarakat Lembata, kata-kata tidak sekadar bunyi, tetapi adalah warisan, kekuatan, dan jantung peradaban. Kata “lem” dan “bata” yang secara sederhana dapat diartikan sebagai perekat dan bahan bangunan, dalam kehidupan filosofis dan budaya Lembata menjadi simbol yang dalam: lem adalah cinta yang menyatukan, dan bata adalah manusia yang menjadi fondasi kehidupan bersama. Artikel  adalah sebuah upaya menggali, merayakan, dan menyemai kembali kekayaan sastra, budaya, dan filosofi lokal yang menjadi identitas luhur masyarakat Lembata.Kami hadirkan filosofis  ini dalam lima penggalan LEM dan BATA utama yang menggambarkan kekayaan nilai dan kebijaksanaan lokal sebagai jendela pendidikan karakter, budaya, dan iman.

LEM dan BATA Dalam dunia yang dipenuhi suara, huruf, dan makna, manusia tidak hanya berbicara—ia mengikatkan dirinya dengan kata-kata. Ia bersahabat, bersaksi, bahkan berdoa melalui “perkawinan kata-kata” yang membentuk kalimat, bait, dan wacana. Namun, di balik struktur kalimat yang tampak sederhana, tersembunyi kedalaman yang hanya dapat disentuh melalui ars interpretandi coniunctionem verborum—seni menafsirkan kawinan kata.

  1. Arti LEM dan BATA Kata Bukan Sekadar Bunyi

Kata bukan hanya lambang bunyi. Dalam kebudayaan lisan dan tulisan, kata adalah roh dari pengalaman. Di tangan penyair, dua kata bisa menjelma menjadi lukisan. Di mulut tetua adat, kawinan dua kata menjadi hukum dan petuah. Dan di altar rohani, kata-kata menjadi doa, menjadi jembatan menuju Yang Ilahi. Ketika kata dikawinkan, mereka tidak hanya berbagi makna, tetapi juga menciptakan makna baru yang tak bisa ditemukan bila mereka berdiri sendiri. Di sinilah seni itu hidup: dalam menghayati bagaimana “lem” dan “bata” membentuk Lembata, atau bagaimana “tanah” dan “air” menjadi kehidupan.

  1. LEM dan BATA Seni Membaca Makna yang Tak Terucap

Menterjemahkan kawinan kata bukan hanya memindahkan makna secara teknis dari satu bahasa ke bahasa lain. Ini adalah tindakan spiritual dan kultural. Seorang penerjemah, seorang guru, seorang filsuf bahkan seorang ibu yang menasihati anaknya dengan dua kata penuh kasih—semua adalah pelaku seni ini.

Mereka membaca keheningan di antara kata, menghayati emosi yang tak tertulis, dan menyalakan cahaya di balik kalimat yang mungkin biasa bagi orang awam, tapi suci bagi orang bijak.

Sesungguhya pada mulanya ada Contoh Kawinan Kata dalam Budaya Lokal

  1. “Lem dan Bata” – Menyatu menjadi nama tanah leluhur: Lembata.
  2. “Tanah dan Air” – Menjadi simbol kehidupan dan warisan.
  3. “Kasih dan Iman” – Menjadi fondasi rumah tangga dan komunitas.
  4. “Guru dan Siswa” – Menjadi relasi pembentukan masa depan.
  5. “Tuhan dan Leluhur” – Menjadi jembatan iman dan tradisi.

 

  1. LEM dan BATA Panggilan Budaya dan Pendidikan

 

Di tengah dunia yang sibuk dan terpecah, kita dipanggil untuk tidak hanya berbicara, tetapi menafsirkan dan memuliakan kawinan kata-kata yang diwariskan budaya kita. Ini adalah bentuk kesetiaan pada identitas dan akar. Anak-anak muda perlu diajar bukan hanya menyusun kalimat, tetapi menghargai jiwa di balik kata-kata itu.

Dalam konteks pendidikan dan budaya lokal, seni ini menjadi jalan membangun karakter, cinta tanah air, dan kepekaan spiritual. Kita butuh lebih banyak guru yang memahami bahwa mengajar bukan hanya transfer ilmu, tapi pemaknaan bahasa—dari hati ke hati.

LEM Dan BATA Kata Sebagai Perjanjian dan di halaman keritas ini sebagai media kawianan dimana

  1. “Manusia Kata” Latin: Homo Verbi, Homo = manusia, Verbi = kata (dari verbum, artinya kata)
  2. “Seni Kata Manusia” Latin: Ars Verbi Hominis, Ars = seni, Verbi = kata (bentuk genitif dari verbum), Hominis = manusia (bentuk genitif dari homo) Alternatif lebih puitis atau filosofis: Homo Loquens = “Manusia yang berbicara” (frasa ini umum digunakan dalam filsafat bahasa dan antropologi)

Ars Loquendi Hominis = “Seni berbicara manusia” (fokus pada seni dalam berbicara atau menyampaikan kata) Dalam budaya Latin dan juga dalam Kitab Suci, kata adalah perjanjian. “In principio erat Verbum”—Pada mulanya adalah Firman. Maka, seni menafsirkan kawinan kata bukanlah seni biasa. Ia adalah seni memahami hidup itu sendiri.

-1. Kata “Lem”

  1. Dalam Bahasa Belanda

Kata lem dalam Bahasa Indonesia berasal dari serapan kata Belanda “lijm”, yang berarti perekat atau zat yang melekatkan dua permukaan. Kata lijmen adalah bentuk kata kerja yang artinya mengelem atau merekatkan. Kata ini berasal dari akar Proto-Jermanik “libjam”, yang juga berkaitan dengan “liim” dalam Bahasa Jerman.  Makna filosofis: Lem bukan sekadar zat, tetapi simbol penyatupadu, ikatan batin, kesetiaan, dan kesatuan dalam kebersamaan—baik dalam hubungan manusia maupun spiritualitas.

  1. Dalam Bahasa Sanskerta

Kata “lem” tidak langsung muncul sebagai kata sendiri dalam Sanskerta, tetapi ada akar kata yang maknanya mirip: “Bandha” (बंधन) artinya ikatan, keterikatan, simpul. “Sambandha” (सम्बन्ध) artinya hubungan, keterkaitan, ikatan sosial atau spiritual

Makna filosofis: Dalam konteks Sanskerta, lem bisa dimaknai sebagai kekuatan yang mengikat jiwa, keluarga, dan komunitas, khususnya melalui dharma (kebenaran) dan bhakti (kasih spiritual).

  1. Kata “Bata”
  2. Dalam Bahasa Belanda. Kata “bata” tidak berasal dari Bahasa Belanda. Dalam Belanda, batu bata disebut “baksteen”: Bak = cetakan atau wadah, Steen = batu. Makna filosofis:

Baksteen dibentuk dari cetakan—melambangkan bahwa manusia dibentuk dari nilai dan pengalaman. Ia keras dan kuat bila melalui proses “dibakar”—seperti manusia melalui penderitaan membentuk karakter.

 

  1. Dalam Bahasa Sanskerta. Ada beberapa kata yang mendekati makna “bata”: “Bhitti” (भित्ति) = dinding. “Aṣṭaka” (अष्टक) = batu bata atau benda berbentuk blok “Śilā” (शिला) = batu atau struktur padat. Secara simbolis, batu atau bata dianggap sebagai fondasi dunia fisik dan spiritual.

 

Makna filosofis:

Dalam pandangan Hindu dan Buddhis, bata/batu melambangkan keteguhan, dasar kehidupan, serta kesederhanaan yang kokoh. Kesimpulan Filosofis Jika kita rangkai makna dari akar bahasa Belanda dan Sanskerta: Lem = lijm/bandha: Ikatan kasih, kekuatan yang menyatukan.  Bata = baksteen/bhitti/śilā: Individu atau nilai dasar yang menopang kehidupan Maka “LEMBATA” secara simbolik menjadi: > Sebuah tempat atau komunitas di mana cinta dan nilai-nilai dasar menjadi fondasi yang menyatukan semua orang.

  1. Bata: Simbol Individu dan Nilai Dasar

Secara filosofis, bata melambangkan:

  • Individu: Setiap orang adalah sebuah bata, unik namun memiliki peran dalam membangun sesuatu yang lebih besar.
  • Nilai-nilai dasar: Kejujuran, iman, kasih, dan harapan sebagai fondasi kehidupan.
  • Kerendahan hati: Bata terlihat sederhana, namun tanpanya, tidak akan ada rumah atau bangunan kokoh. “Bata tidak pernah menonjolkan dirinya, tapi tanpanya, segalanya runtuh.”
  1. Lem: Simbol Relasi, Kasih, dan Komitmen

 

Sementara itu, lem secara filosofis bisa diartikan sebagai:

  • Ikatan cinta dan hubungan antar manusia: Kasih adalah lem kehidupan.
  • Komitmen dan kesatuan: Lem menjaga agar bata tidak tercerai-berai, seperti komitmen menjaga komunitas tetap utuh.
  • Iman yang menyatukan: Dalam kehidupan beriman, lem adalah simbol kepercayaan kepada Allah yang menyatukan umat-Nya. “Lem tidak terlihat, tapi dialah yang menyatukan segalanya dalam keheningan.”

 

 

Makna Filosofis Keseluruhan

Jika bata adalah manusia, maka lem adalah cinta dan iman yang menyatukan manusia menjadi sebuah bangunan kehidupan—keluarga, Gereja, bangsa, dan dunia. Dalam konteks Gereja, bisa diartikan: Bata = umat Allah. Lem = Kristus dan kasih-Nya yang menyatukan tubuh mistik-Nya

LEM Dan BATA Dalam Bahasa Jerman, padanan dari 8W tersebut adalah:

  1. Was – Apa itu LEM dan BATA?

LEM dan BATA adalah dua kata sederhana dalam kehidupan sehari-hari, namun jika kita gali secara simbolis dan filosofis, keduanya menyimpan makna yang dalam—terutama dalam konteks pembentukan karakter, pendidikan, dan kebersamaan.

LEM adalah simbol dari kasih, ikatan, dan kekuatan yang menyatukan. Dalam kehidupan manusia, “lem” bukan sekadar perekat fisik, tetapi juga lambang dari cinta kasih, kepercayaan, komitmen, dan nilai kebersamaan yang menjaga sebuah komunitas tetap utuh.

BATA, di sisi lain, adalah simbol individu—setiap orang seperti bata yang memiliki peran dalam membangun sesuatu yang lebih besar: keluarga, sekolah, gereja, bangsa, atau dunia. Bata melambangkan nilai dasar seperti kejujuran, kerendahan hati, dan kekuatan karakter yang terbentuk dari proses hidup.

Jika digabung, LEM + BATA = LEMBATA. Bukan sekadar nama daerah, tetapi metafora kehidupan, yaitu: komunitas yang dibangun oleh bata-bata manusia dan disatukan oleh lem kasih.

Dalam refleksi simbolik, LEM dan BATA bukan sekadar benda mati, tetapi dapat diibaratkan sebagai tokoh hidup dalam cerita tentang kebersamaan dan pembangunan masyarakat.

Siapa LEM?
LEM adalah guru, orang tua, pemimpin, dan siapa pun yang menjadi perekat dalam kehidupan bersama. Mereka adalah orang-orang yang penuh kasih, yang menyatukan dan menjaga relasi di antara sesama. Dalam konteks sekolah, LEM bisa diibaratkan sebagai pendidik—yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai cinta, kedisiplinan, dan pengharapan.

LEM adalah jiwa yang menyatukan. Ia tak selalu terlihat, tapi keberadaannya sangat menentukan.

Siapa BATA?
BATA adalah kita semua—murid, anggota keluarga, warga masyarakat—yang menjadi bagian dari bangunan besar kehidupan. Setiap orang adalah bata yang unik, memiliki bentuk, warna, dan tekstur yang berbeda, namun semuanya penting untuk membentuk struktur yang kokoh. Dalam konteks pendidikan, siswa adalah bata yang sedang dibentuk melalui proses belajar dan pembentukan karakter.

BATA adalah pribadi yang bertumbuh. Ia sederhana, namun menjadi dasar dari segalanya.

3. Wann – Kapan LEM dan BATA?

Kapan LEM dan BATA hadir dalam kehidupan kita?
Jawabannya: setiap saat. LEM dan BATA bukan hanya hadir dalam waktu tertentu, melainkan mengalir dalam setiap momen kehidupan, terutama saat manusia membangun relasi, belajar, dan hidup dalam kebersamaan.

LEM hadir…

  • Saat seorang guru menuntun murid dengan kasih, bukan hanya dengan kata-kata.
  • Saat orang tua menyatukan keluarganya dengan cinta dan pengertian.
  • Saat sahabat saling memaafkan setelah kesalahpahaman.
  • Saat masyarakat bergotong-royong membangun jalan desa atau rumah ibadah.
  • Saat pelajar saling mendukung dalam belajar dan tidak saling menjatuhkan.

Lem hadir saat ada kasih, kerja sama, pengampunan, dan komitmen.

🧱 BATA hadir…

  • Saat seorang siswa berusaha keras belajar demi masa depannya.
  • Saat anak muda berani berkata jujur walau sulit.
  • Saat tiap individu menjalankan perannya dengan setia, meski tidak terlihat atau dihargai.
  • Saat warga menjaga tradisi dan budaya sebagai bentuk cinta pada warisan leluhur.

Bata hadir saat setiap orang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Jadi, LEM dan BATA hadir kapan saja, di mana saja, selama ada cinta yang menyatukan dan individu yang siap menjadi fondasi kebaikan. “Setiap pagi saat kita memilih untuk mengasihi, memaafkan, dan berbuat baik—di situlah LEM dan BATA bekerja.”

4. Wo – Di Mana LEM dan BATA?

LEM dan BATA ada di mana? Jawabannya: di setiap ruang kehidupan—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Mereka bukan hanya ada di bangunan fisik, tapi juga hadir secara simbolis dalam rumah, sekolah, gereja, dan komunitas.

📍 LEM ada di…

  • Hati seorang guru, saat ia mengajar bukan hanya dengan otak, tapi juga dengan hati.
  • Pelukan orang tua, yang menyatukan anak-anak dengan kasih.
  • Doa dalam keluarga, yang menyatukan perbedaan dengan iman.
  • Proyek bersama di kelas, saat siswa belajar bekerja sama dan saling memahami.
  • Senyum sahabat, yang mempererat persahabatan walau tak berkata-kata.

LEM ada di mana pun kasih dan komitmen menjadi kekuatan pemersatu.

📍 BATA ada di…

  • Setiap siswa di ruang kelas, yang belajar dan bertumbuh.
  • Setiap anggota keluarga, yang menjadi bagian dari rumah tangga yang utuh.
  • Setiap warga masyarakat, yang menjalankan tugasnya dengan jujur dan setia.
  • Lembaga pendidikan, yang menyusun “bata-bata” karakter bangsa dari generasi ke generasi.
  • Tradisi dan adat, yang membentuk identitas bersama sebuah komunitas.

BATA ada di mana pun ada manusia yang membangun hidup dengan nilai dan ketekunan.

 

Jadi, LEM dan BATA hadir di mana saja ada cinta dan tanggung jawab. Mereka adalah elemen-elemen hidup yang membentuk sekolah yang bermartabat, keluarga yang harmonis, dan masyarakat yang adil dan bersatu.

“Rumah tidak dibangun hanya dengan batu, tetapi dengan cinta dan kebersamaan. Begitu pula sekolah—dibangun dengan LEM dan BATA.”

5. Warum – Mengapa LEM dan BATA?

Mengapa kita perlu LEM dan BATA dalam kehidupan?
Karena kehidupan, seperti sebuah bangunan, tidak akan kokoh tanpa fondasi yang kuat (BATA) dan tidak akan utuh tanpa perekat yang menyatukan (LEM).

🌱 Mengapa BATA?

BATA adalah simbol dari manusia sebagai bagian dari masyarakat.

  • Kita semua adalah “bata-bata hidup” yang membangun keluarga, sekolah, gereja, dan bangsa.
  • Tanpa kehadiran dan kontribusi setiap individu, tidak akan ada struktur sosial yang kuat.
  • BATA mengajarkan kita kesetiaan, keteguhan, dan kerendahan hati. Ia tidak menonjol, tapi tanpanya, rumah runtuh.

“Setiap siswa adalah bata yang membangun masa depan bangsa.”

❤️ Mengapa LEM?

LEM adalah simbol dari kasih, komitmen, dan iman yang menyatukan kita semua.

  • Tanpa LEM, bata-bata akan tercerai-berai—seperti manusia tanpa cinta dan kerja sama.
  • LEM mengingatkan kita bahwa yang membuat sebuah komunitas kuat bukan hanya keberadaan orang, tetapi hubungan yang baik antarorang.
  • LEM hadir dalam bentuk pengampunan, kerja sama, empati, dan kepercayaan.

“Tanpa lem kasih, sekolah hanya jadi gedung kosong tanpa jiwa.”

🔍 Maka, mengapa LEM dan BATA penting?

Karena kita hidup bersama. Kita tidak bisa hidup hanya sebagai individu yang kuat (bata), tetapi juga harus terikat dalam cinta dan nilai bersama (lem).
Pendidikan sejati membentuk bukan hanya otak yang cerdas, tetapi juga hati yang saling menyatukan.

 

“LEM dan BATA adalah dua sisi dari kehidupan: satu memberi kekuatan, satu memberi kesatuan. Tanpa keduanya, kita hanyalah potongan-potongan yang tidak pernah menjadi rumah.”

6. Wie – Bagaimana LEM dan BATA Bekerja?

Bagaimana cara LEM dan BATA membentuk kehidupan? Dalam kehidupan sehari-hari, LEM dan BATA tidak hanya bekerja secara fisik, tetapi juga secara filosofis dan simbolis. Mari kita lihat bagaimana keduanya hadir dalam kehidupan siswa, guru, keluarga, dan masyarakat.

🧱 BATA – Bagaimana Ia Bekerja?

BATA bekerja dalam diam. Ia tidak menonjolkan diri, tapi ia menopang segalanya. Dalam konteks kehidupan:

  • BATA adalah diri kita sendiri.
    Kita membentuk nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, dan disiplin.
  • BATA adalah prinsip hidup.
    Siswa yang belajar dengan tekun, guru yang mengajar dengan setia, orang tua yang mendidik dengan kasih—semua adalah bata-bata kehidupan.
  • BATA bekerja dengan sabar dan konsisten.
    Ia tidak bisa diganti oleh hiasan; hanya melalui proses dan ketekunan ia menjadi kuat.

“Bangunan tidak berdiri hanya karena arsitek hebat, tapi karena bata yang setia menopang hari demi hari.”

🤝 LEM – Bagaimana Ia Bekerja?

LEM bekerja dalam senyap, tetapi menyatukan segalanya. Dalam kehidupan, LEM hadir dalam:

  • Hubungan antarmanusia.
    Kasih sayang antar teman, kepercayaan antara guru dan murid, pengertian dalam keluarga—itulah LEM.
  • Kolaborasi dan gotong royong.
    Tanpa LEM, bata-bata (individu) hanya akan berdiri sendiri. Tapi karena LEM, mereka menjadi rumah, sekolah, dan komunitas.
  • Nilai-nilai spiritual dan moral.
    Iman, harapan, dan cinta adalah LEM yang menyatukan kita sebagai manusia beriman dan bermasyarakat.

“LEM tidak terlihat, tapi dialah yang membuat semuanya tetap utuh.”

🔄 Bagaimana Keduanya Bekerja Bersama?

BATA dan LEM tidak bisa dipisahkan. Inilah cara mereka bekerja bersama:

Seperti membangun rumah:
Tanpa bata, tak ada bentuk. Tanpa lem, tak ada kekuatan.

1.Individu 1.Hubungan antar individu
2.Nilai dasar 2.Kasih dan komitmen
3.Kekokohan 3.Kesatuan
4.Tampak 4.Tak terlihat tapi terasa

📚 Penerapan di Sekolah:

  • Setiap siswa adalah BATA.
    Siswa punya peran unik dan harus dibentuk dengan nilai.
  • Setiap guru adalah LEM.
    Guru menyatukan siswa dalam kasih, ilmu, dan inspirasi.
  • Kelas adalah bangunan.
    Bila semua bata diletakkan rapi dan direkatkan dengan kasih, terciptalah ruang belajar yang hidup.

 

“Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat membangun rumah peradaban. LEM-nya adalah kasih dan peduli, BATA-nya adalah kita semua.”

  1. Wozu – Untuk Apa LEM dan BATA?

Untuk apa keberadaan LEM dan BATA dalam kehidupan manusia dan pendidikan?

LEM dan BATA tidak sekadar benda fisik atau simbol linguistik. Dalam makna yang lebih dalam, keduanya hadir sebagai metafora kehidupan—untuk membangun manusia dan komunitas yang utuh, kuat, dan penuh kasih. Lantas, untuk apa sebenarnya LEM dan BATA itu?

 

🧱 BATA – Untuk Membangun Individu yang Tangguh. BATA adalah lambang dari manusia. Setiap kita adalah bata yang disiapkan untuk tujuan tertentu dalam bangunan kehidupan.

🔹 Untuk membentuk karakter
BATA mewakili nilai-nilai seperti ketekunan, kejujuran, kerja keras, kesetiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi bahan dasar membentuk karakter pelajar dan manusia seutuhnya.

🔹 Untuk menopang bangunan masyarakat
Tanpa bata, tak ada bangunan. Tanpa individu yang punya nilai, tak akan ada masyarakat yang kokoh.

🔹 Untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar
Satu bata saja tidak cukup. Tapi banyak bata yang terhubung bisa menjadi rumah, sekolah, gereja, bahkan bangsa.

“Kita diciptakan bukan untuk berdiri sendiri, tapi untuk menjadi bagian dari bangunan kehidupan.”

🤝 LEM – Untuk Menyatukan, Memperkuat, dan Menjaga

LEM adalah kasih, iman, dan komitmen. Ia tidak terlihat, tapi tanpa dia, semua akan terpecah.

🔹 Untuk menyatukan perbedaan
LEM hadir untuk menyatukan bata-bata berbeda: suku, agama, bahasa, karakter, latar belakang.

🔹 Untuk menjaga agar semua tetap utuh
Kasih sayang, kepercayaan, dan pengertian adalah LEM yang membuat keluarga tidak retak, kelas tidak pecah, masyarakat tidak runtuh.

🔹 Untuk memperkuat bangunan kehidupan
Tanpa LEM, hubungan akan rapuh. LEM memberi kekuatan pada ikatan antarmanusia dan pada nilai yang kita bangun.

“LEM tak bersuara, tapi tanpanya, bangunan tidak akan bertahan.”

🎯 Untuk Apa di Dunia Pendidikan?

LEM dan BATA menjadi model nilai dalam dunia pendidikan:

✨ Tujuannya:

  • Membangun siswa yang berkarakter kuat (bata)
  • Mewujudkan komunitas belajar yang solid dan penuh kasih (lem)
  • Menjadi ruang pendidikan nilai dan iman yang hidup

 

🕊️ Untuk Apa dalam Kehidupan Rohani?

Dalam konteks spiritual:

  • BATA adalah kita, umat.
  • LEM adalah kasih Tuhan yang menyatukan kita sebagai Gereja.

Yesus menyebut umat-Nya sebagai “batu-batu hidup” (1 Petrus 2:5) yang dipakai untuk membangun rumah rohani. Lem-nya adalah kasih Tuhan, yang menyatukan setiap orang dalam tubuh Kristus.

 

🌱 Kesimpulan: Untuk Membangun Peradaban Cinta

LEM dan BATA ada untuk membangun dunia:

  • Dunia pendidikan
  • Dunia keluarga
  • Dunia iman
  • Dunia masa depan

“Dunia tidak dibangun oleh teknologi dan uang saja, tapi oleh manusia yang hidup dalam kasih, saling menopang, dan bersatu—seperti LEM dan BATA.”

8. Wieviel / Wie viele – Berapa Banyak LEM dan BATA?

Pertanyaan ini mungkin tampak sederhana: berapa banyak lem dan bata yang dibutuhkan?

Namun dalam konteks filosofis dan pendidikan, pertanyaan ini membawa kita pada renungan yang dalam:

  • Berapa banyak cinta dan komitmen (LEM) dibutuhkan untuk menyatukan manusia?
  • Berapa banyak orang dengan nilai luhur (BATA) diperlukan untuk membangun peradaban?

🧱 Berapa Banyak BATA?

Setiap orang adalah satu bata.
Maka, jumlah bata = jumlah manusia yang bersedia menjadi bagian dari bangunan kehidupan.

🔹 Di sekolah:
Setiap siswa adalah bata yang membentuk komunitas belajar.
Setiap guru adalah bata yang menopang nilai dan pengetahuan.

🔹 Di masyarakat: Semakin banyak orang yang hidup dengan integritas, kejujuran, dan kasih, maka semakin kuat bangunan masyarakat itu.

“Jumlah bata tak pernah cukup jika tak ada yang bersedia menjadi fondasi.”

🤝 Berapa Banyak LEM? LEM adalah nilai yang tidak bisa dihitung secara fisik—ia tidak tampak, tetapi terasa.
Namun, satu hal pasti:

🔸 Semakin banyak cinta, iman, dan kepercayaan yang dibagikan, semakin kokoh bangunan kehidupan.
🔸 Satu bata bisa berdiri, tapi tanpa lem, ia tidak akan menyatu.

Maka, lem harus terus diproduksi dalam hati:

  • lewat saling peduli,
  • lewat pengampunan,
  • lewat kerja sama dan doa bersama.

“Satu tetes lem kasih bisa menyatukan dua hati. Tapi dunia butuh lautan kasih untuk tetap utuh.”

📊 Refleksi Jumlah LEM dan BATA dalam Sekolah

Komponen Jumlah Ideal Makna
Bata (Siswa) Sebanyak siswa yang ingin tumbuh Masing-masing unik, penting
Bata (Guru) Sejumlah teladan yang konsisten Pilar moral dan intelektual
Lem (Nilai) Tak terbatas Harus diperbarui setiap hari

 

LEM dan BATA ujian  “Jumlah bata bisa dihitung. Jumlah lem tak bisa dihitung. Tapi keduanya dibutuhkan terus-menerus.” Dalam membangun sekolah, keluarga, dan masyarakat:

  • Butuh banyak bata (orang dengan nilai)
  • Butuh tak terbatas lem (kasih, iman, dan komitmen)

Karena yang kita bangun bukan hanya gedung, tetapi peradaban kasih—rumah besar tempat semua orang bisa hidup sebagai satu keluarga.

  1. LEM dan BATA Budaya Bahasa dan Sastra Filosofis

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi adalah jalan jiwa, tempat bersemayam nilai dan roh kebudayaan. Di Lembata, kata-kata memiliki makna simbolik dan magis. Tutur yang diwariskan turun-temurun membentuk nilai, identitas, dan jati diri. Peribahasa lokal seperti “Uma leu, ata leu” (Rumah besar, manusia besar) mencerminkan keagungan martabat manusia yang hidup dalam kebersamaan. Syair dan pantun menjadi pengingat akan cinta, kerja keras, dan ketekunan. Dalam tutur orang tua, dalam doa adat, bahkan dalam nyanyian kelahiran dan kematian, terpatri sastra kehidupan.

2: LEM dan BATA  Nilai Kemanusiaan dalam Pergaulan Hidup

Kehidupan keluarga di Lembata sarat akan makna kemanusiaan yang filosofis. Seorang bapak bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pelindung nilai dan kehormatan. Seorang mama bukan hanya pengasuh, tetapi juga guru kehidupan. Anak-anak diajar lewat cerita, teladan, dan tugas hidup. Ungkapan seperti “Ita nara, ata lele” (Kita satu, manusia saling terkait) menunjukkan betapa dalamnya relasi kemanusiaan yang dijaga. Pergaulan diwarnai oleh sikap malu, hormat, dan kasih. Gotong royong adalah sistem kehidupan, bukan hanya kegiatan.

3: LEM dan BATA Tanah, Air, Pohon, dan Kebun: Filosofi Jantung Kehidupan

Tanah adalah ibu, air adalah darah, pohon adalah nafas, dan kebun adalah warisan. Begitu masyarakat Lembata melihat alam. Tanah bukan sekadar tempat berpijak, tetapi tanah warisan nenek moyang yang harus dihormati. Air tidak boleh dikotori karena ia adalah berkah hidup. Pohon tidak ditebang sembarangan karena mereka bagian dari ritual dan pelindung roh. Kebun bukan hanya sumber pangan, tetapi juga tempat pendidikan karakter—anak-anak belajar menanam, merawat, dan menghormati ciptaan.

4: LEM dan BATA  Pendidikan Filosofis dalam Kehidupan Guru dan Siswa

Dalam budaya Lembata, guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi pelita kehidupan. Seorang guru adalah penuntun jalan hidup. Pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di kebun, di rumah, dan di tengah upacara adat. Siswa dididik untuk hormat, jujur, dan bekerja keras. Bahasa pengajaran yang digunakan mengandung nilai dan filosofi lokal: “Belajar bukan hanya tahu, tetapi menjadi bijak.” Kedisiplinan tidak datang dari hukuman, tetapi dari tanggung jawab moral yang diwariskan dari leluhur.

5:  LEM dan BATA Filosofi Keagamaan dan Tradisi Suku

Di Lembata, agama dan adat berjalan dalam harmoni. Kitab Suci dan tradisi tidak bertentangan, tetapi berdialog. Ucapan mantra kepada nene moyang dan doa kepada Tuhan dilakukan dalam semangat syukur dan penghormatan. Upacara adat seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian diiringi oleh doa-doa yang mencerminkan keimanan dan kearifan. Agama menjadi cahaya, dan budaya menjadi tanah di mana iman itu bertumbuh. Gereja dan rumah adat berdiri berdampingan (.Bersambung..Rrr.)

 

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.