“Ama, Apan, Anaf, In ama fae nain faot nahene bibir meto. In ama fuan tasi masa.”
FK – Di tepi pantai Oebubun, di antara deburan ombak yang seolah tak mengenal lelah, terpatri kisah pilu penuh air mata. Kesedihan yang menukik, menggali, dan menumpahkan air mata tak terhingga. Cinta yang kuat membuat sosok ibu yang kehilangan untuk selamanya itu sembab matanya, menatap laut luas yang telah merenggut dua jiwa yang dicintainya: suaminya dan putranya.
Tiga hari berlalu sejak mereka pergi mencari nafkah pada lautan yang dipercayai sebagai ladang kehidupan, justru menjadi gerbang menuju keabadian. Mereka bukan tak mampu membeli ikan dari saku yang sederhana, tetapi mereka adalah pesona penampak cahaya bagi kerinduan nafkah keluarga. Namun, kerinduan itu berubah menjadi tangisan. Rindu itu berubah sekejap menjadi petaka yang memilukan.
Tangisan yang pecah membuat sang ibu jatuh bersimpuh. Jemarinya gemetar mengukir nama suami dan anaknya di atas pasir yang basah. Ia melingkarinya dengan bentuk hati, mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu. Air matanya jatuh membasahi tulisan itu, seolah berusaha membangunkan mereka dari keheningan yang kini memisahkan mereka.
Sejak malam pertama kehilangan, doa-doa tak pernah absen dari bibirnya. Setiap hela napasnya adalah seruan kepada Tuhan. Setiap tetes air matanya adalah harapan agar tangan Ilahi menjangkau mereka yang telah tenggelam. “Ya Tuhan, jika mereka harus kembali kepada-Mu, izinkan aku melihat mereka untuk terakhir kalinya.”
Ia berdiri di sana setiap pagi dan malam, membiarkan angin laut membelai wajahnya yang penuh duka. Ibarat Sang Bunda yang meratap di kaki salib, sang ibu menyerahkan segala luka kepada kehendak Sang Khalik.
Perahu-perahu kecil terus berlayar, menyisir setiap sudut lautan yang menyimpan tubuh mereka. Ombak seolah merahasiakan keberadaan Mus dan Boy, menolak menyerahkan mereka kembali kepada dunia yang masih merindukan kehadiran mereka. Namun, nelayan-nelayan yang berhati rindu itu luar biasa. Antara rangkulan dan derasnya ombak, aksinya bergantian.
Hari ketiga yang penuh gelisah dan tangisan itu, matahari menampilkan coraknya. Selangkah maju pasca terbit dari perhentiannya, cahaya yang menguat memberi tanda terang seketika tentang kerinduan yang akan segera terjawab. Doa yang tak kunjung padam itu akhirnya melawan arus dan menembus takdir. Jasad Mus dan Boy ditemukan, mengapung tenang dan tak berdaya di perairan dekat Oebubun. Seakan doa ibu itu sendiri yang menuntun mereka kembali. Itulah kekuatan doa dan tangisan yang pecah dari ketulusan hati seorang ibu yang merindu.
Ibu yang nampak sudah tak berdaya menjerit tertahan, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa hampa. Ia berlari, lalu bersimpuh di sisi mereka, menciumi wajah yang dulu begitu hangat, kini membisu dalam keheningan. Air matanya mengalir deras, bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena doa-doanya telah dijawab dengan cara yang paling menyakitkan sekaligus melegakan. Tuhan memang sering menciptakan misteri yang sulit dipahami manusia. Seperti Ayub yang diuji di puncak kesalehannya, ibu Yolanda pun diuji dengan kehilangan yang tak terperi.
Kini, Mus dan Boy telah pergi, tetapi cinta mereka tetap abadi. Kepergian mereka adalah luka terdalam, sebuah kehilangan yang menumpas tumpuan harapan dan kasih. Namun, dalam kepedihan ini, iman tetap menjadi pijakan. Sebab, di balik perpisahan di dunia, ada perjumpaan kembali di keabadian.
Selamat jalan, Saudara Berdua. Pada rerintihan nasib yang dialami sendiri saat itu, kami persembahkan doa-doa hening tak kunjung padam. Kiranya keheningan dalam doa mampu menutupi kegelisahan amukan badai. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi duka yang mendalam ini.
“Ama, Apan, Anaf, In ama fae nain faot nahene bibir meto. In ama fuan tasi masa.”
Pesan Kitab Suci: Injil Lukas
Dalam Lukas 7:13, tertulis: “Dan ketika Tuhan melihat dia, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: ‘Jangan menangis.’”
Seperti perempuan di Nain yang kehilangan anaknya dan menerima belas kasih Yesus, demikian pula Tuhan melihat air mata setiap ibu yang kehilangan. Di dalam kesedihan, ada penghiburan dari Tuhan. Doa seorang ibu tidak pernah sia-sia, meskipun jawaban Tuhan sering kali datang dalam bentuk yang tak terduga. Dalam kepedihan, tetaplah percaya bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan dan pengharapan.
Dalam Lukas 8:24, dikisahkan bagaimana murid-murid Yesus ketakutan menghadapi badai di danau. Mereka membangunkan Yesus dan berkata, “Guru, Guru, kita binasa!” Lalu Yesus bangun, menghardik angin dan gelombang air, sehingga semuanya reda dan danau pun menjadi teduh. Kisah ini mengingatkan kita bahwa sekalipun badai kehidupan menerpa, Tuhan tetap berkuasa untuk meredakannya. Tidak ada badai yang lebih besar dari kuasa Tuhan.
Ama, Apan, Anaf, In ama fae nain faot nahene bibir meto. In ama fuan tasi masa.”
Renungan untuk Keluarga yang Ditinggalkan
Dalam keheningan malam, di antara desir angin pantai yang menyapu duka, Tuhan hadir dalam setiap tangisan yang pecah. Kesedihan yang mendalam bukanlah akhir dari segalanya, tetapi sebuah pengingat bahwa kasih sejati tidak pernah terputus, meskipun tubuh terpisah oleh maut. Ingatlah, dalam duka yang mendalam, ada Tuhan yang selalu menguatkan dan mengasihi.
Mus dan Boy kini telah kembali ke pangkuan Tuhan, beristirahat dalam damai-Nya yang abadi. Mereka bukanlah hilang, melainkan telah lebih dahulu tiba di pelukan kasih Bapa Surgawi. Sebagai keluarga yang ditinggalkan, tetaplah kuat dalam iman, sebab Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya dalam kesendirian.
Seperti yang tertulis dalam Mazmur 34:18, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Tuhan melihat setiap air mata dan mendengar setiap doa. Percayalah bahwa ada penghiburan dalam rencana-Nya yang sempurna.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa dalam duka sekalipun, ada kekuatan yang lahir dari doa dan ketabahan. Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya, dan di balik setiap kehilangan, ada kasih-Nya yang tetap menyala.(RRR)
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.