Kertas bergaris merasa ada yang aneh. Kata-kata itu terasa berat, tidak jujur, dan dingin. Ia mengingat perkataan saudaranya. Sekarang ia mengerti. Apa yang ditulis manusia bukanlah sekadar huruf, tetapi isi hati yang kadang penuh topeng.

Malam itu, saat sekolah sepi dan bulan menggantung muram di jendela, kertas bergaris berkata pelan, “Sekarang aku mengerti, Kakak. Kita memang hanya tempat menulis, tapi apa yang dituliskan itu mencerminkan siapa mereka.”

Kertas putih polos tersenyum lembut.

“Kau akan melihat lebih banyak lagi, Saudaraku,” katanya. “Surat cinta, puisi harapan, curhat kesepian, bahkan makian. Kita akan menjadi saksi kehidupan manusia. Maka jangan angkuh saat diisi pujian, dan jangan putus asa saat diberi luka.”

Beberapa bulan berlalu. Kertas putih polos kini tersimpan dalam kotak kecil—surat permintaan maaf Farel dijadikan contoh oleh guru agama. Ia dijaga, dirawat, bahkan pernah dibacakan saat retret siswa. Anak-anak mendengarnya sambil menunduk dan menangis. Karena surat itu menyentuh nurani mereka.

Sedangkan kertas bergaris? Ia dibuang. Clara ketahuan berbohong, dan suratnya dicoret merah. Ia akhirnya menulis yang baru, kali ini dengan jujur.

“Saya meminta maaf telah berbohong. Saya belajar bahwa Tuhan tahu isi hati kita, bahkan saat orang lain tidak.”

Dan kali ini, suratnya disimpan di lemari guru, sebagai bukti pertobatan.

 

Pesan dari Lembaran Putih

Jika kita belajar dari dua lembar kertas itu, maka kita pun akan memahami bahwa hati manusia adalah seperti kertas putih. Saat lahir, kita bersih, polos, tanpa noda. Tapi kehidupan—dengan segala kata, sikap, dan pilihan kita—akan menuliskan cerita di sana.

Apakah yang tertulis adalah kasih?
Ataukah kebencian?

Apakah kita memilih menuliskan harapan kepada sesama?
Ataukah menggores luka yang dalam?

Kertas putih tidak memilih siapa yang menulis di atasnya. Tapi kita—manusia—memiliki pilihan: menuliskan kebaikan atau keburukan. Dan Tuhan, Sang Pemilik pena sejati, telah memberikan firman-Nya agar kita menuliskan cinta-Nya di setiap langkah.

Maka berhati-hatilah, anakku.
Jangan sembarangan menggoreskan kata.
Karena hati seseorang bisa jadi adalah kertas putih yang menyimpan luka dari tulisan kita.

POLOSNYA-  Kertas putih polos dan kertas bergaris telah mengajarkan bahwa kehidupan ini adalah lembaran. Kita bukan hanya menulis untuk hari ini, tapi untuk dibaca di masa depan—oleh orang lain, oleh hati nurani, bahkan oleh Tuhan sendiri.

Tulislah kebaikan. Coretlah dengan kasih.
Karena setiap kata adalah benih yang tumbuh dalam jiwa manusia. Salam LITERASI 1 MEI 2025….

 

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.