Dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) Bung Hatta mengungkapkan fakta sejarahnya, “Karena opsir angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka, bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai.” pikir beliau

Bung Hatta mempertanyakan bukankah Mr. A.A. Maramis dalam Panitia Sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan ia ikut menanda-tangani Piagam Jakarta? Bung Hatta tidak sempat melakukan verifikasi, apakah ultimatum itu benar atau rekayasa pihak Jepang. Beliau kemudian membicarakan dengan tiga anggota PPKI yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo. Setelah melalui diskusi mendalam di antara tiga tokoh Islam tersebut akhirnya disetujui pencoretan tujuh kata mengenai syariat Islam dan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bung Hatta menjelaskan makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, arti istilah Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain ialah tauhid. Dalam biografi Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo dikemukakan hal yang sama bahwa arti Ketuhanan Yang Maha Esa ialah tauhid. Seperti ditulis Bung Hatta dalam Sekitar Proklamasi, semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dan tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam yang hanya mengenai orang-orang Islam dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR dan setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia.

Sementara orang memandang tujuh kata menyangkut syariat Islam dalam Piagam Jakarta lahir dari pandangan ideologi. Sebetulnya tujuh kata itu lahir dari pandangan sosiologi karena umat Islam merupakan mayoritas, maka konstitusi negara Republik Indonesia wajar mengatur hal demikian. Semua anggota BPUPKI baik dari golongan “nasionalis islami” maupun “nasionalis sekuler” pada waktu itu mufakat menerima Pancasila sebagai landasan falsafah dasar negara dan ideologi nasional. Kalau belakangan ini, ada kalangan melihat pertentangan Pancasila dan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, mungkin itu sebuah pandangan ahistoris.

Menurut sejarah yang otentik, ide dan konsep Pancasila 1 Juni 1945, perumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan perumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan dalam Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, masing-masing tidak berdiri sendiri, melainkan satu continuum yang tidak dapat dipisahkan.

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.